Jumat, 28 Oktober 2016

Burnout (Kebosanan) dalam olahraga

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebosanan (Burnout)
            Menurut Bunker, L. K  dikutip dari buku Gunarsa (2008: 122) istilah  kebosanan (burnout) pertama kali muncul dalam tulisan atau artikel yang ditulis oleh Herbert J. Freudenberger pada tahun 1974 merumuskan burnout dengan mengutip dari suatu kamus, sebagai keadaan yang tidak menentu dan dipenuhi oleh rasa jenuh yang menuntut atau membuang banyak energi dan kekuatan. Menurut Smith dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:470) kebosanan (burnout) adalah kondisi kelelahan yang teramat sangat pada aspek psikofisiologis yang merupakan dampak dari hasil yang secara terus menerus terkadang secara ekstrem, dan secara umum tidak menguntungkan dalam suatu kompetisi ataupun pertandingan.
            Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebosanan (burnout) adalah suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang ditandai  dengan keadaan yang tidak menentu dan dipenuhi oleh rasa jenuh yang menuntut atau membuang banyak energi dan kekuatan secara terus menerus atau dalam jangka waktu relatif panjang.
            Kebosanan (burnout) mencakup unsur psikologis, emosional dan fisik yang diakibatkan karena aktivitas yang sebelumnya menyenangkan menjadi kegiatan yang tidak menyenangkan secara berlanjut. Sedangkan karateristik dari burnout adalah sebagai berikut; (1) exhaustion (kecapekan yang teramat sangat), hal ini diakibatkan oleh hilangnya konsentrasi, energi, kesenangan, dan kejujuran, (2) depersonalisasi, merupakan perasaan seseorang impersonal, ataupun hilangnya perasaan, (3) perasaan rendah diri, depresi, merasa bersalah. Hal ini akan nampak pada rendahnya produktivitas kerja dan penurunan level penampilan.



B. Faktor-faktor penyebab perilaku kebosanan
            Ada beberapa penyebab  seseorang mengalami kebosanan dan jenuh dalam latihan, yaitu:
1. Menurunnya motivasi
            Ada dua macam motivasi yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari keinginan seseorang itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik adalah pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, dan kemungkinan untuk berkembang dalam organisasi. Seseorang yang dominan pada motivasi intrinsik maka akan menghasilkan kinerja yang lebih baik jika faktor penunjang tersebut ada. Tetapi kalau faktor tersebut tidak ada maka tidak akan berpengaruh pada kinerjanya. Motivasi ekstrinsik adalah sumber motivasi yang berasal dari luar seseroang. Sedangkan faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik adalah gaji, kondisi kerja, status, kebijakan organisasi, kualitas kepemimpinan, dan hubungan intrepersonal dalam organisasi. Seseorang yang dominan pada motivasi ekstrinsik tidak akan selalu dapat meningkatkan kinerjanya walau faktor penunjang tersebut ada. Namun jika faktor penunjang tersebut tidak ada, maka akan merasa tidak puas. Berdasarkan teori tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa atlet yang lebih dominan pada motivasi ekstrinsik akan lebih cenderung mengalami burnout daripada atlet dengan motivasi intrinsik. Ini disebabkan atlet yang dominan pada motivasi intrinsik akan dengan senang hati berlatih dan berjuang demi menjadi yang terbaik.
2. Keletihan atau kelelahan
            Jika beban latihan lebih berat daripada beban normal tubuh maka tubuh akan mengalami keletihan sehingga bisa menyebabkan kebosanan (burnout).
3. Komunikasi yang kurang sehat dengan sesama atlet atau pelatih
            Komunikasi yang sehat merupakan salah satu bentuk dukungan sosial. Jika komunikasi kurang sehat maka tingkat kebosanan (burnout) akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan kuangnya dukungan sosial dari sesama atlet, pelatih, dan keluarga memiliki andil dalam membantu menurunkan beban seseorang yang mengalami burnout.
4. Prosedur dan aturan yang kaku
            Aturan dan prosedur yang kaku akan menghambat seseorang yang emosional untuk mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sehingga seringkali mereka merasa kesal.
5. Kurangnya penghargaan (reward)
            Seseorang yang emosional akan merasa tidak pernah dihargai dan merasa pekerjaannya tidak berharga jika reward yang diterimanya kurang. Hal ini mengakibatkan munculnya rasa putus asa dan bosan.
6. Terasing dari komunitas
            Seseorang yang emosional akan cenderung merasa tidak ada semangat tim, frustrasi, marah, merasa terasing sehingga komunitasnya terasa mengisolasi dirinya.
7. Jenis Kelamin
            Biasanya perempuan menunjukkan frekuensi yang lebih besar untuk mengalami kebosanan (burnout) daripada laki-laki karena sering mengalami kelelahan emosional.
            Pola berpikir seseorang dapat menimbulkan adanya suatu kebosanan/ kejenuhan (burnout) dalam suatu aktifitas. Ada beberapa penyebab terjadinya kebosanan karena pola pikir seseorang yang kurang tepat, yaitu:
1. Kurang Berpikir Positif
            Ketika seseorang mengalami kebosanan, mereka merasa bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, dan hal ini akan terjadi berulang kali. Dalam kejadian semacam ini, orang tersebut melihat lebih banyak hal buruk terhadap sesuatu secara sadar maupun tidak sadar. Mereka selalu memfokuskan perhatian mereka pada masalah dan mengabaikan keberhasilan serta kesuksesan yang mereka raih. Bagi seseorang yang berpikiran negatif dan memiliki kecenderungan kebosanan, segala hal yang terjadi merupakan cermin dari permasalahan dan kemunduran.

2. Kurangnya Rasa Percaya Diri
            Orang-orang yang kebosanan tidak memiliki rasa percaya diri dan mereka selalu menganggap semua yang terjadi sebagai kegagalan mereka. Bahkan kesalahan sekecil apapun mereka anggap sebagai masalah besar dan mereka hal-hal tersebut menguras perhatian mereka jauh lebih besar dari orang pada umumnya.
3. Lebih memperhatikan kesalahan
            Dalam kehidupan,  pasti melakukan kesalahan; beberapa orang membuat lebih banyak kesalahan. Orang yang menderita kebosanan lebih memfokuskan diri pada jumlah kesalahan yang mereka buat. Sebagai hasilnya, mereka menciptakan kesan negatif mengenai kesalahan.
4. Merasa tertekan karena berbagai kewajiban dalam hidup
            Dalam situasi ini, orang-orang selalu berpikir apa yang seharusnya mereka lakukan dan tidak seharusnya mereka lakukan. Hasilnya, di penghujung hari mereka terbebani oleh sejumlah komitmen.
5. Merasa lemah
            Permasalahan bagi orang yang mengalami kebosanan adalah merasa tidak ada satu hal pun yang bisa memuaskan. Bahkan ketika menyadari bisa memperbaiki mood, tidak melakukannya. Nasihat yang di peroleh dari teman-teman dan keluarga dianggap tidak perlu dan tak berguna. Satu hal yang paling di rasakan adalah ketidakmampuan untuk berharap atau terinspirasi oleh sesuatu hal dan memperhatikannya.

C. Gejala-gejala kebosanan
            Gejala-gejala kebosanan/burnout menurut Cardinnel. C. dikutip dari buku  Gunarsa (2008: 122- 123) meliputi simtom fisik dan simtom perilaku sebagai berikut:
  1. Simtom atau gejala fisik, yaitu
a.    Kelelahan luar biasa.
b.   Sakit kepala dan gangguan pencernaan.
c.    Berat badan turun.
d.   Susah tidur.
e.    Depresi dan sesak napas.
  1. Simtom atau gejala perilaku, yaitu
a.    Suasana hati atau emosi yang berubah-ubah.
b.   Meningkatnya reaksi mudah tersinggung.
c.    Berkurangnya perhatian terhadap orang lain.
d.   Menurunnya toleransi terhadap frustasi.
e.    Rasa curiga terhadap orang lain.
f.    Rasa tidak berdaya dan kehilangan pengendalian diri.
            Dari penjelasan di atas terlihat munculnya reaksi-reaksi terhadap kebosanan (burnout) terbagi dua kelompok. Kelompok  pertama adalah gangguan kefaalan yang ditandai oleh berat badan turun, kekuatan turun, cepat lelah, denyut nadi meningkat, otot-otot melemas, gangguan pencernaan dan gangguan tidur. Sementara kelompok kedua adalah gangguan psikologis seperti minat latihan yang menurun, motivasi yang secara umum juga menurun, perubahan sikap, serta merasa bosan dan gelisah. Pendapat lain mengungkapkan bahwa reaksi terhadap kejenuhan dan kebosanan memiliki tingkatan. Misalnya, tingkat pertama ditandai oleh meningginya ambang kepekaan, lelah, khawatir, dan frustasi. Tingkat kedua dari kebosanan adalah memperlihatkan reaksi yang sama dengan dua kelompok diatas, namun dalam waktu yang lebih lama. Tingkat tiga telah lebih mendalam dengan munculnya gejala-gejala fisik (somatisasi) seperti gangguan lambung, nyeri di pinggang dan sakit kepala.

D. Strategi mengatasi kebosanan
            Dalam mengantisipasi kebosanan (burnout), karena seorang pelatih perlu melakukan observasi dengan sebaik-baiknya dan senantiasa  menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan atlet. Terutama pada tahapan ketika atlet mulai melontarkan perasaan ketidakpuasan atas hasil prestasi yang diperoleh, atau ketidakpuasan karena merasa dirinya tidak mampu menyelsaikan tugas dengan baik, pelatih perlu mendengarkan keluhan atlet dengan seksama. Melalui informasi-informasi langsung seperti inilah seorang pelatih akan lebih mampu mewaspadai gejala kejenuhan (burnout) yang dialami atlet. Sehingga, dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut (Monthy P. Satiadarma, 2000: 268- 269).
            Adapun strategi untuk mengatasi kondisi kebosanan (burnout) yang dialami atlet seperti yang dikemukakan Gunarsa (2004: 125) diperlukan upaya-upaya tertentu, antara lain sebagai berikut:
1.   Mengurangi latihan yang monoton.
            Variasi untuk memberikan suasan latihan yang baru dapat dilakukan dengan memasukkan kegiatan atau program baru.
2.   Menghentikan latihan untuk sementara.
              Program latihan yang terlalu membebani seorang atlet sering kali perlu dihentikan untuk sementara waktu, sebab dalam kondisi psikis seperti itu hasil latihan menjadi kurang berarti.
3. Mengubah lingkungan
             Ini dapat dilakukan dengan berlatih di tempat yang sama dengan suasana yang baru, atau berlatih di tempat lain, sehingga tercipta suasana yang sama sekali baru.
4. Mengubah pola latihan yang telah dilakukan setiap hari secara terus menerus menjadi suatu ramuan yang baru.
5. Melakukan variasi dalam kehidupan sehari-hari
              Kegiatan yang bervariasi tersebut dapat bersifat rekreatif, produktif bahkan edukatif. Kegiatan juga dapat dilakukan secara pribadi maupun kelompok.
6. Mengembangkan keterampilan psikologis seperti relaksasi, imajeri, penentuan sasaran dan self talk atau sugesti secara positif.
             Menurut Weinberg dan Gould dikutip dari buku Monty P. Satiadarma (2000: 269-272) mengajukan sejumlah strategi yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan untuk mengantisipasi, menghindari maupun mengatasi masalah tersebut.

a) Menentukan sasaran jangka pendek
             Lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai sasaran jangka panjang kadang-kadang menimbulkan kebosanan  (burnout) pada atlet untuk terus mengikuti latihan. Oleh sebab itu, perlu menyusun program yang terarah pada sasaran jangka pendek, sehingga atlet dapat rnengarahkan kegiatan ke dalam periode kegiatan yang tidak begitu lama jangka waktu dan selanjutnya dihadapkan pada sasaran baru lainnya. Diharapkan, atlet senantiasa menghadapi situasi yang baru dan hal ini menjauhkannya dan kemungkinan merasa jenuh dalam berlatih.
b) Membina komunikasi
             Banyak orang membutuhkan kehadiran orang lain untuk berbagi rasa, berbagi suka dan duka. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial, sehingga berusaha menyimpan gejolak emosi seorang diri membuka peluang untuk mengalami stres yang lebih tinggi. Ketidak-beradaan orang lain dapat menimbulkan kesendirian dan rasa kesepian. Sebaliknya kehadiran teman atau pelatih memberi peluang pada atlet untuk dapat berbagi rasa dengan orang lain sehingga terhindar dan rasa sepi serta kesendirian. Hal ini membuatnya lebih mudah menghindari diri dan rasa jenuh menghadapi kegiatan rutin sehari-hari.
c) Melakukan jeda
            Semakin banyak kerja semakin tinggi suksesnya dan semakin keras bekerja makin baik hasilnya. Namun, pada kenyataan tidak seperti itu, banyak orang sukses meraih sukses bukan dilandasi kerasnya seseorang bekerja, melainkan karena efektifnya seseorang menggunakan tenaga dan efektifnya memanfaatkan waktu. Kata kunci dalam hal ini adalah efektivitas kerja/latihan. Kerja atau latihan efektif bukanlah kegiatan yang berlangsung terus menerus tanpa henti. Jeda adalah penting untuk mengistirahatkan sementara individu yang bekerja sekaligus memulihkan tenaganya untuk kembali bekerja. Tanpa adanya jeda yang mungkin timbul adalah kelelahan.


d) Meningkatkan keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri
            Atlet hendaknya juga dibekali dengan keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri seperti relaksasi, visualisasi, menentukan sasaran, memberi sugesti positif bagi diri sendiri dan lain-lain. Tanpa bekal keterampilan psikologis, seorang atlet mungkin akan terjerat jadwal yang tidak dipahami maknanya, dan akibatnya atlet mudah mengalami kebosanan (burnout) mungkin tanpa sasaran yang jelas, atlet akan terjerat idealisme tertentu yang rnenyebabkannya berlatih secara berlebihan dan mengalami sindroma kelebihan beban latihan. Tetapi, jika atlet mampu menerjemahkan idealisme ke dalam sasaran yang realistis, atlet akan lebih mampu mengatur waktu latihan sehingga juga lebih mungkin untuk terhindar dari kebosanan (burntou)t.
e) Mempertahankan sikap positif
            Pengalaman latihan serta pertandingan, komentar dan masukan dari berbagai pihak, serta umpan balik dan pengurus serta pimpinan adakalanya bernada negatif, apalagi jika regu atau atlet mengalami kekalahan. Pelatih hendaknya menghindari sikap menyalahkan atlet atau saling menyalahkan satu sama lain, sekalipun bisa dimengerti bahwa pelatih pun mungkin sedang kesal karena kekalahan clubnya atau atletnya. Namun justru pada saat inilah sikap positif pelatih sangat diharapkan sehingga atlet juga dapat belajar bersikap positif dan dapat menerima kekalahan. Di samping itu, sikap positif cenderung menumbuhkan minat untuk memperbaiki diri, dan hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi atlet untuk memperbaiki diri di kemudian hari.
f) Mengendalikan emosi pasca tanding
            Sekalipun peluit terakhir telah berbunyi, tidak berarti gejolak psikologis yang dialami atlet berakhir. Dalam berbagai keadaan, usai pertandingan bahkan dapat menjadi saat awal atlet mengalami gejolak emosi negatif yang dalam beberapa hal berikutnya menjadi pemicu munculnya kejenuhan. Kondisi pasca tanding dapat menimbulkan gejolak emosi yang berlebihan (seperti misalnya euphoria) atau mengarah ke hal-hal yang destruktif seperti minum minuman keras, saling menyalahkan satu sama lain atas peristiwa yang terjadi di gelanggang dan sebagainya. Pelatih perlu mewaspadai hal ini dan hendaknya pelatih harus mampu “hadir” di antara atlet untuk membina suasana yang lebih kondusif, suportif sehingga dapat mengendalikan emosi atlet menjadi lebih terkontrol.
g) Mempertahankan kebugaran.
            Upaya ini penting karena kebugaran merupakan salah satu kunci kesejahteraan di dalam hidup seseorang. Periode latihan dan pertandingan yang berlangsung dalam waktu tertentu menimbulkan kelelahan dan mempengaruhi ketahanan fisik dan mental seseorang. Jika atlet mengalami kelelahan yang berlebihan, atlet cenderung lebih mudah terkena stres. Jadi, seorang atlet perlu untuk senantiasa mempertahankan kebugaran dengan memperhatikan menu makan, jadwal kegiatan dan istirahat, agar atlet senantiasa berada dalam kondisi bugar.

E. Pengertian Perilaku Kepatuhan
            Kepatuhan merupakan ketaatan seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang telah ditentukan serta dorongan dari dalam diri seseorang untuk mematuhi atau menuruti apa yang sudah di perintahkan. Menurut Hasibuan dalam Ardi (2012), menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Sedangkan menurut  Prijadarminto dalam Ardi (2012), menjelaskan kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan mebebani dirinya bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana lazimnya.
            Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa  perilaku kepatuhan adalah ketaatan seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang telah ditentukan serta kesediaan mentati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku.

F. Faktor-Faktor yang Mempengarahui Kepatuhan Latihan
            Beberapa faktor  yang mempengaruhi kepatuhan latihan menurut Weinberg dan Gould (2003:410-414), yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Pribadi (Personal Factors)
            Tiga tipe karakteristik pribadi yang mungkin mempengaruhi kepatuhan olahraga, yaitu  variabel-variabel demografis, variabel-variabel kognitif, dan perilaku.
a. Variabel-Variabel Demografis (Demographic Variables)
            Variabel-variabel demografis secara tradisional telah memiliki kaitan yang kuat dengan aktivitas fisik. Contohnya, pendidikan, jenis kelamin laki-laki, dan pendapatan atau status sosioekonomi, semuanya telah dihubungkan secara konsisten dan positif dengan aktivitas fisik. Secara rinci, orang-orang dengan pendapatan, pendidikan, dan status pekerjaan yang lebih tinggi berkemungkinan lebih besar untuk menjalankan aktivitas fisik.Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa rintangan untuk berolahraga antara para pekerja profesional dan non-profesional adalah sama, meskipun jumlahnya berbeda pada faktor-faktor penentu yang lain dalam olahraga King dkk dalam Weinberg dan Gould (2003:410).
b. Variabel-variabel Kognitif dan Kepribadian
             Banyak variabel kognitif telah diuji bertahun-tahun untuk menentukan variabel-variabel tersebut membantu memperkirakan dan berhubungan dengan pola aktivitas fisik. Dari semua variabel yang diuji, efikasi diri dan motivasi diri merupakan pemerkira aktivitas fisik yang paling cocok/ konsisten. Efikasi diri secara sederhana merupakan kepercayaan individu bahwa ia dapat melakukan tindakan yang diinginkannya dengan baik. Memulai program olahraga misalnya, kemungkinan besar dipengaruhi oleh kepercayaan diri yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya untuk melaksanakan tindakan yang diinginkannya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk membantu orang untuk menjadi percaya diri dengan tubuhnya melalui dukungan sosial, dorongan, dan penyesuaian aktivitas agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
c. Perilaku
             Diantara kajian-kajian mengenai banyaknya perilaku yang mungkin dapat memprediksi atau memperkirakan pola keaktifan fisik pada orang dewasa, penelitian terhadap keaktifan fisik seseorang dan keikutsertaannya dalam olahraga sebelumnya telah menghasilkan beberapa penemuan yang menarik. Dalam program-program terawasi aktivitas dapat diamati secara langsung, keikutsertaan sebelumnya dalam suatu program olahraga merupakan prediktor yang paling terpercaya dalam memperkirakan keikutsertaannya pada program yang sekarang sedang dijalani Dishman & Sallis dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:412).  
             Ada sedikit bukti bahwa sekedar keikutsertaan seseorang dalam olahraga-olahraga sekolah akan dapat memprediksi atau memperkirakan keaktifan fisiknya saat dewasa. Begitu juga, ada sedikit dukungan terhadap pemikiran bahwa pola keaktifan semasa kanak-kanak atau awal masa dewasa merupakan hal yang prediktif dari keaktifan fisik selanjutnya. Buktinya, elemen kuncinya adalah bahwa seseorang baru mengembangkan kebiasaan untuk aktif secara fisik selama usia dewasa, tanpa memperhatikan pola tertentu dalam keaktifan fisik mereka. Namun, anak-anak yang aktif yang memperoleh dorongan dari orang tuanya dalam hal keaktifan fisik, akan menjadi lebih aktif saat mereka dewasa daripada anak-anak yang kurang aktif secara fisik dan tidak memperoleh dorongan dari orangtuanya.
2. Faktor Lingkungan (Environmental Factors)
             Faktor lingkungan dapat mendukung ataupun menghambat keteraturan keikutsertaan dalam aktivitas fisik. Faktor ini meliputi lingkungan sosial (misalnya keluarga dan teman sebaya), lingkungan fisik (misalnya cuaca, tekanan waktu, dan jarak dari fasilitas yang ada), dan karakteristik keaktifan fisik atau aktivitas fisik (misalnya intensitas dan durasi olahraga).


a. Lingkungan Sosial
            Dukungan sosial adalah salah satu aspek penting dalam lingkungan sosial, dukungan dari keluarga dan teman secara terus-menerus terbukti berhubungan dengan aktifitas fisik yang diikuti dengan keteraturan untuk melakukan program pelatihan orang dewasa (USDHHS, 1996).  Pasangan memiliki pengaruh yang baik dalam keberaturan latihan dan sikap pasangan dapat menekan lebih dari pengaruh sikap seseorang sendiri Dishman dalam Weinberg dan Gould (2003:412). Dorongan untuk teman, anggota keluarga, atau teman sebaya yang mencoba untuk menyerah atau tetap melakukan program latihan dapat diungkapkan dengan mudah dengan “saatnya kembali” atau “aku bangga denganmu”.
b. Lingkungan Fisik
            Tempat yang tepat sangat penting untuk suatu komunitas melakukan program latihan. Baik waktu yang tepat dan dekatnya rumah atau tempat kerja adalah faktor yang menentukan seseorang mengikuti program latihan gerak badan King, dkk dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:413). Semakin dekat rumah seseorang atau tempat kerja dengan tempat latihan gerak badan, semakin seseorang akan mengikuti program latihan gerak badan. Saat ini, berbagai macam tempat untuk latihan tersedia dan dijadikan lokasi strategis untuk latihan sebagai tambahan untuk pengaturan rumah tradisional dan tempat bekerja. Hal ini termasuk tempat-tempat seperti sekolah dasar dan sekolah menengah, gedung alumni, tempat ibadah dan tempat rekreasi. Tempat-tempat inilah yang berpotensi menawarkan tempat program latihan fisik Smith & Biddle  dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:413).

G. Strategi untuk meningkatkan kepatuhan
            Menurut Weinberg dan Gould (2003:415) menjelakan beberapa bentuk strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan dalam latihan, yaitu sebagai berikut:


1. Pendekatan Modifikasi Sikap
            Tinjauan lengkap dari Dishmen and Buckworth dalam Weinberg dan Gould (2003: 416) menjelaskan bahwa pendekatan modifikasi sikap meningkatkan keteraturan dalam latihan fisik yang menghasilkan hasil yang sangat positif. Pendekatan modifikasi sikap memungkinkan memiliki pengaruh pada lingkungan fisik yang bertindak sebagai isyarat kebiasaan dari sikap. Penglihatan dan pembau pada makanan adalah kunci untuk makan, penglihatan dari televisi setelah bekerja adalah kunci orang akan duduk bersantai. Begitupun jika ingin mempromosikan program latihan, suatu teknik untuk memberikan rangsangan akan memungkinkan berhubungan dengan latihan fisik. Ada beberapa kombinasi yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan di atas:
a. Dorongan
             Dorongan adalah kunci mengaktifkan sikap. Dorongan dapat berupa verbal atau dengan kata-kata, fisik dan simbol. Tujuan adalah salah satu kunci untuk meningkatkan kemauan seseorang untuk berlatih fisik. Contoh kunci atau isyarat untuk meningkatkan kerajinan dalam berlatih adalah slogan, poster, stiker, catatan, meletakkan alat latihan fisik di tempat yang terlihat, merekrut dukungan sosial dan penampilan latihan fisik pada waktu dan tempat yang sama setiap harinya.
b. Kontrak
            Jalan lain untuk mengubah kebiasaan dalam latihan adalah dengan berpartisipasi pada suatu kontrak dengan seorang pelatih. Kontrak terebut akan membuat suatu harapan khusus, rasa tanggung jawab dan keberlanjutan program. Kontrak ini berisi tujuan yang akan dicapai , tanggal tujuan-tujuan harus dicapai, dan konsekuensi jika tidak mengikuti perjanjian Willis & Campbell dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:416).  
2. Pendekatan dengan Penguatan
            Penguatan, baik negatif maupun positif, adalah faktor yang menentukan sikap ke depannya. Untuk meningkatkan kerutinan dalam latihan fisik, insentif atau penghargaan (misalnya dengan kaos) dapat diberikan agar orang-orang tetap mengikuti program latihan fisik. Lebih jelasnya seperti di bawah ini:
a. Memetakan atau membuat grafik kedatangan dan partisipasi
            Laporan umum dari kedatangan dan penampilan adalah jalan lain untuk meningkatkan motivasi dari anggota yang mengikuti program latihan fisik. Umpan balik dari penampilan mereka dapat dibuat lebih efektif dengan bagan atau grafik e.g. Franklin dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:416). Bagan atau grafik akan sangat membantu dan memotivasi, dimana orang akan bisa sekilas melihat perubahan atau perkembangan latihan fisik. Hal ini akan mengimbangi ketertarikan, terutama program selanjutnya yang harus orang-orang capai. Merekam jejak dan memetakan dalam grafik secara teratur diberikan dan akan sering meningkatkan rasa penghargaan secara kognitif adalah suatu cara untuk meningkatkan target yang dibiasakan.
b. Penghargaan Kedatangan dan Partisipasi
            Di samping membuat chart atau grafik kedatangan dan partisipasi, beberapa penelitian menggunakan penghargaan untuk meningkatkan kerutinan latihan fisik. Pada sebuah studi, penghargaan diberikan pada kedatangan selama lima minggu dalam program jogging: penghargaan pertama adalah 1$ pengembalian uang masukan mingguan, kesatuan dalam partisipasi dan sebuah kupon untuk sekali kedatangan dan akan mendapatkan suatu hadiah, dan ini semua diberikan pada setiap kelas yang didatangi.
c. Umpan Balik
            Umpan balik sering digunakan pelatih untuk mendorong atlet terus berlatih. Kata-kata pujian tidak memberi informasi yang spesifik untuk meningkatkan keterampilannya, tetapi dapat memelihara dan meningkatkan lingkungan latihan yang positif. Umpan balik memberikan keuntungan dalam proses pelatihan, atlet lebih bersemangat dan bergairah untuk berlatih apabila mengetahui dan mendapat perhatian dan hasil latihan yang baik. Menurut Agung dikutip dari buku Komarudin (2015:31) menjelaskan bahwa melalui prinsip balikan diupayakan dan dipastikan atlet akan sungguh-sungguh menerima materi yang disampaikan dan memperoleh hasil yang baik. Perolehan hasil itu akan mendorong atlet untuk lebih giat berlatih dan berprestasi lebih baik lagi.
            Umpan balik yang positif diberikan dalam bentuk menggunakan kata-kata bagus, menyenangkan, pintar, menarik, dan hebat, akan memberikan dampak positif terhadap penampilan atlet. Hal ini merupakan faktor penting untuk membentuk motivasi intrinsik. Hasil penelitian menunjukan bahwa memberikan umpan balik secara verbal merupakan usaha yang kompleks. Umpan balik verbal yang disampaikan merupakan moderator penting terhadap efek motivasi intrinsik (Henderlong & Lepper dikutip dari buku Komarudin 2015:33).
3. Pendekatan Kognitif
            Pendekatan kognitif adalah pendekatan dari dalam yang memiliki peran penting dalam perubahan sikap. Dua teknik yang termasuk dalam pendekatan ini adalah pengaturan tujuan dan suatu teknik yang harus dilakukan dengan persatuan dan non persatuan.
a. Tetapkan Tujuan
            Gaol setting merupakan prosedur untuk menetepkan tujuan, baik tujuan jangka pendek, menengah, sampai pada tujuan jangka panjang. Goal setting bertujuan untuk memotivasi atlet supaya lebih produktif dan efektif dalam menampilkan performa.
            Pengaturan tujuan dapat menjadi teknik motivasi dan strategi yang meningkankan sikap dan keteraturan dalam program latihan fisik. Pada sebuah studi, 99 % dari partisipan yang mengikuti level tengah dalam fitness diatur dua kali, motivasi personal tujuan mereka dalam partisipasi latihan Poag-DuCharme & Brawley dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:418).  
            Martin, dkk dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:418) menemukan tujuan yang mudah disesuaikan yang diambil partisipan diatur mereka sendiri akan menghasilkan kehadiran dalam program lebih baik dan mengimbangi sikap dalam latihan (untuk masa 3 bulan) daripada yang diatur oleh pelatih atau intsrukturnya.

b. Asosiasi dan Disosiasi
             Pemikiran yang orang fokuskan pada perhatian selama latihan fisik juga sangat penting untuk meningkatkan keberaturan dalam program latihan. Ketika fokus dari dalam diri seseorang ini dinamakan asosiasi, ketika orang fokus dengan lingkungan di luar dirinya disebut disosiasi atau gangguan.  Menfokuskan diri pada lingkungan sekitar termasuk seseorang merasakan sesuatu akan meningkat level kerutinan dalam latihan fisik karena mereka berpikir tentang hal lain yang akan menurunkan kebosanan dan kepenatan.
4. Pendekatan Membuat Keputusan
            Melibatkan atlet dalam proses pengambilan keputusan merupakan upaya untuk meningkatkan tanggung jawab atlet untuk memutuskan sesuatu terkait dengan peraturan dan strategi yang harus diterapkan.
            Mengikuti program latihan atau tidak seringkali menjadi keputusan yan sulit. Untuk membantu seseorang dalam proses membuat keputusan, pengembang ilmu kejiwaan membuat teknik yang dinamakan lembar kecocokan pilihan (Holy & Janis, 1975; Wankel, 1984). Teknik ini dapat membuat orang semakin menyadari keuntungan potensial dan berharganya program latihan fisik. Dalam menemukan lembar kecocokan pilihan, seseorang akan menuliskan antisipasi dan konsekuensi partisipasi dalam mengikuti program latihan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau kehilangan sesuatu, keuntungan untuk orang lain, kerugian untuk orang lain, persetujuan orang lain, ketidaksetujuan orang lain, persetujuan diri sendiri dan ketidaksetujuan diri sendiri.
5. Pendekatan Dukungan Sosial
             Pada konteks ini, dukungan sosial diartikan sebagai tindakan menyenangkan seseorang terhadap keikutsertaan orang lain dalam program latihan yang dilakukan. Hubungan sosial dan keluarga mempengaruhi aktifitas fisik di banyak hal. Pasangan, anggota keluarga, teman dapat menjadi kunci aktifitas fisik dari sikap mereka dan penguatan dari persahabatan selama latihan fisik. Sering kali orang memberikan bantuan praktis, transportasi, dan menghitung rute latihan fisik atau meminjamkan baju atau alat bantu latihan fisik. Dalam hal ini, dukungan sosial dari keluarga dan teman dibuktikan secara positif berhubungan dengan aktifitas fisik dan kerutinan dalam mengikuti latihan fisik (USDHHS, 1996).
6. Pendekatan Instrinsik
            Motivasi yang paling kuat adalah dari dalam diri sendiri. Walaupun penghargaan, masukan, dorongan sosial dan lainnya membantu meningkatkan kerutinan dalam latihan, Untuk menfokuskan pada latihan fisik yang menyenangkan dan akan bertahan lama ada tiga cara sebagai berikut ini.
a. Fokus pada pengalaman pribadi
            Maddux dalam Weinberg dan Gould (2003:420) berpendapat bahwa orang seharusnya melakukan latihan fisik dengan perhatian dan fokus pada saat ini, pada intinya, mereka seharusnya menyadari melakukan latihan fisik untuk keuntungan mereka sendiri di masa depan. Contohnya, Maddux menyarankan selain lari, kita seharusnya meminta orang mengikuti:
            “Ketika lari, jangan memikirkan apapun secara bersamaan. Lari saja. Hanya ambil satu langkah dalam satu waktu. Hanya berada di saat ini saja. Jika kamu memiliki pengalaman pahit bahkan sakit, ingatkan itu. Jika kamu memiliki pemikiran tentang berhenti, ingatkan itu juga. Fokuslah pada hal yang sekarang dan aktifitas itu sendiri yang akan mengaktifkan kesenangan dalam waktu yang lama.”
b. Proses Orientasi
            Satu langkah yang membuat aktifitas fisik menyenangkan adalah berfokus pada prosesnya disamping juga hasil dari pergerakan aktifitas. Pada dasarnya, kita harus bergerak dari orientasi ekstrinsik menuju orientasi intrinsik. Tanpa perubahan ini, banyak orang keluar dan berhenti dari program latihan atau melewati salah satu program untuk program selanjutnya Kimiecik dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:420).
c. Membawa latihan Fisik dengan Maksud Tertentu dan Berarti
            Pada pendekatan yang menarik, Morgan dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:421) berpendapat bahwa salah satu kunci alasan kerutinan latihan belum maksimal 50 % dalam 30 tahun ini adalah aktivitas fisik seringkali kehilangan arti dan tujuan di mata partisipan.  Morgan berpendapat bahwa banyak aktifitas fisik seperti memanjat tebing, treadmill, berjalan atau berlari, angkat beban, bersepeda, dan mengayuh bergantung pada tidak memiliki maksud tertentu dan hanya diartikan sebagai salah satu jenis aktifitas fisik yang ditawarkan. Beberapa pengarang (contohnya Kretchmar, 2001; Fahlberg & Fahlberg, 1990) menekankan makna adalah kunci dalam aspek keberlanjutan latihan fisik. Walaupun beberapa alternatif menjelaskan mengapa  mereka dapat melakukan latihan fisik terus-menerus, penulis berpendapat kekonsistenan pada faktor latihan fisik mereka begitu berarti dan bermakna serta memiliki tujuan khusus di mata mereka.

H. Pengertian Sepakbola
            Sucipto dkk (2000:7) menjelaskan bahwa sepakbola adalah permainan beregu, masing-masing regu terdiri atas sebelas pemain dan salah satunya adalah penjaga gawang. Permainan ini seluruhnya dimainkan dengan menggunakan tungkai, kecuali penjaga gawang yang dibolehkan menggunakan lengannya di daerah tendangan hukumannya. Menurut Batty Eric G. (1986) sepak bola adalah sebuah permainan sederhana, dan rahasia dari permainan sepak bola yang baik adalah melakukan hal-hal yang sederhana dengan sebaik-baiknya, karena salah satu faktor penting dalam  pencapaian prestasi sepak bola adalah penguasaan keterampilan dasar yang dimiliki oleh pemain itu sendiri, sehingga pandai bermain sepak bola.

I. Pengertian Atlet
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005) arti dari kata atlet adalah olahragawan yang terlatih kekuatan, ketangkasan dan kecepatannya untuk diikut sertakan dalam pertandingan. Atlet berasal dari bahasa Yunani yaitu athlos yang berarti "kontes". Istilah lain atlet adalah atlilete yaitu orang yang terlatih untuk diadu kekuatannya agar mencapai prestasi.  Menurut Cox (2012), atlet adalah orang yang ikut serta dalam pertandingan, mengadu kekuatannya untuk mencapai suatu prestasi dan orang yang melakukan latihan-latihan agar mendapatkan kekuatan badan, kecepatan, kelincahan, daya tahan, dan keseimbangan dalam mempersiapkan diri jauh hari sebelum perlombaan dimulai. Atlet harus mengikuti serangkaian pertandingan dalam kompetisi yang terstruktur serta memiliki pembinaan dan program latihan tertentu untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, baik kemampuan fisik, kognitif, maupun kemampuan emosionalnya untuk mencapai prestasi yang diharapkan.
            Dari beberapa definisi tersebut makan dapat disimpulkan bahwa atlet adalah individu yang melakukan olahraga  yang terprogram, terukur, dan tercatat untuk tujuan kesempurnaan prestasi.




















BAB III
KESIMPULAN

            Kebosanan menjadi masalah yang di hadapi oleh atlet. Hampir semua atlet pernah mengalami kebosanan untuk mengikuti latihan. Hal ini dikarenakan atlet mengalami kelalahan  dari kelebihan latihan dan stress dalam mengikuti program latihan. Untuk mengatasi kondisi burnout (kebosanan) yang dialami atlet pada saat mengikuti program latihan sepakbola, ada beberapa strategi yang dapat digunakan antara lain yaitu mengurangi latihan yang monoton, menghentikan latihan untuk sementara, mengubah lingkungan, mengubah pola latihan, melakukan variasi dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan keterampilan psikologis seperti relaksasi, imajeri, penentuan sasaran dan self talk atau sugesti secara positif, menentukan sasaran jangka pendek, membina komunikasi, meningkatkan keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri, mempertahankan sikap positif, mengendalikan emosi pasca tanding dan mempertahankan kebugaran.
            Kurangnya kepatuhan menjadi masalah penting  pada saat mengikuti program latihan. Masalah kurangnya kepatuhan menjadi masalah bagi atlet untuk mengikuti program latihan sepak bola dengan baik. Untuk itu, ada beberapa strategi yang dapat digunakan  untuk meningkatkan perilaku kepatuhan atlet, antara lain yaitu pendekatan modifikasi sikap, pendekatan dengan penguatan, pendekatan kognitif, pendekatan membuat keputusan, pendekatan dukungan sosial, dan pendekatan instrinsik.








DAFTAR PUSTAKA

Ardi. (2012). Diakses 28 Maret 2016. Pengertian Kepatuhan. http://www. Psycholog ymania.com/2012/08/pengertian-kepatuhan.html,

Batty, Eric G. (1986). Coaching Modern Soccer Attack. Bandung : Pionir Jaya.

Cox, R.H. (2012). Sport Pschology: Concepts and Applications. 7th edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Gunarsa, Singgih D. (2008). Psikologi Olahraga Prestasi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

KBBI. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Komarudin. (2015). Psikologi Olahraga. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya.
Monty P.S. (2000) Dasar-dasar psikologi olahraga. Jakarta Pustaka Sinar Harapan. 2000

Prahananda, dkk. (2013). Cara Jacksen Atasi Rasa Jenuh Pemain Timnas.Viva.co.id,  1 November 2013. http://www.viva.co.id/bola/read/455402-cara-jacksen-atasi-rasa-jenuh-pemain-timnas

Sucipto, dkk. (2000). Sepakbola. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. 

Weinberg, R.S., Gould, D. (2003). Foundations of Sport & Exercise Psychology.
           (3rd  Ed) USA : Human Kinetics.

              , R.S., Gould, D. (2011). Foundations of Sport & Exercise Psychology.
           (5th Ed). USA : Human Kinetics.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar