PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kebosanan (Burnout)
Menurut Bunker,
L. K dikutip dari buku Gunarsa (2008:
122) istilah kebosanan (burnout) pertama kali muncul dalam
tulisan atau artikel yang ditulis oleh Herbert J. Freudenberger pada tahun 1974
merumuskan burnout dengan mengutip
dari suatu kamus, sebagai keadaan yang tidak menentu dan dipenuhi oleh rasa
jenuh yang menuntut atau membuang banyak energi dan kekuatan. Menurut Smith
dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:470) kebosanan (burnout) adalah kondisi kelelahan yang teramat sangat pada aspek
psikofisiologis yang merupakan dampak dari hasil yang secara terus menerus
terkadang secara ekstrem, dan secara umum tidak menguntungkan dalam suatu
kompetisi ataupun pertandingan.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebosanan (burnout) adalah suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang
ditandai dengan keadaan yang tidak
menentu dan dipenuhi oleh rasa jenuh yang menuntut atau membuang banyak energi
dan kekuatan secara terus menerus atau dalam jangka waktu relatif panjang.
Kebosanan
(burnout) mencakup unsur psikologis,
emosional dan fisik yang diakibatkan karena aktivitas yang sebelumnya
menyenangkan menjadi kegiatan yang tidak menyenangkan secara berlanjut. Sedangkan
karateristik dari burnout adalah
sebagai berikut; (1) exhaustion (kecapekan yang teramat sangat), hal ini
diakibatkan oleh hilangnya konsentrasi, energi, kesenangan, dan
kejujuran, (2) depersonalisasi,
merupakan perasaan seseorang impersonal, ataupun hilangnya perasaan, (3)
perasaan rendah diri, depresi, merasa bersalah. Hal ini akan nampak pada
rendahnya produktivitas kerja dan penurunan level penampilan.
B.
Faktor-faktor penyebab perilaku kebosanan
Ada
beberapa penyebab seseorang
mengalami kebosanan dan jenuh dalam latihan, yaitu:
1. Menurunnya motivasi
Ada
dua macam motivasi yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah
motivasi yang berasal dari keinginan seseorang itu sendiri. Faktor yang
mempengaruhi motivasi intrinsik adalah pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung
jawab, kemajuan, dan kemungkinan untuk berkembang dalam organisasi. Seseorang
yang dominan pada motivasi intrinsik maka akan menghasilkan kinerja yang lebih
baik jika faktor penunjang tersebut ada. Tetapi kalau faktor tersebut tidak ada
maka tidak akan berpengaruh pada kinerjanya. Motivasi ekstrinsik adalah sumber
motivasi yang berasal dari luar seseroang. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
motivasi ekstrinsik adalah gaji, kondisi kerja, status, kebijakan organisasi,
kualitas kepemimpinan, dan hubungan intrepersonal dalam organisasi. Seseorang
yang dominan pada motivasi ekstrinsik tidak akan selalu dapat meningkatkan
kinerjanya walau faktor penunjang tersebut ada. Namun jika faktor penunjang
tersebut tidak ada, maka akan merasa tidak puas. Berdasarkan teori tersebut
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa atlet yang lebih dominan pada motivasi
ekstrinsik akan lebih cenderung mengalami burnout daripada atlet dengan
motivasi intrinsik. Ini disebabkan atlet yang dominan pada motivasi intrinsik
akan dengan senang hati berlatih dan berjuang demi menjadi yang terbaik.
2. Keletihan atau kelelahan
Jika
beban latihan lebih berat daripada beban normal tubuh maka tubuh akan mengalami
keletihan sehingga bisa menyebabkan kebosanan (burnout).
3. Komunikasi yang kurang sehat dengan
sesama atlet atau pelatih
Komunikasi
yang sehat merupakan salah satu bentuk dukungan sosial. Jika komunikasi kurang
sehat maka tingkat kebosanan (burnout) akan
semakin tinggi. Hal ini disebabkan kuangnya dukungan sosial dari sesama atlet,
pelatih, dan keluarga memiliki andil dalam membantu menurunkan beban seseorang
yang mengalami burnout.
4. Prosedur dan aturan yang kaku
Aturan
dan prosedur yang kaku akan menghambat seseorang yang emosional untuk mampu
menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sehingga seringkali mereka merasa kesal.
5. Kurangnya penghargaan (reward)
Seseorang
yang emosional akan merasa tidak pernah dihargai dan merasa pekerjaannya tidak
berharga jika reward yang diterimanya
kurang. Hal ini mengakibatkan munculnya rasa putus asa dan bosan.
6. Terasing dari komunitas
Seseorang
yang emosional akan cenderung merasa tidak ada semangat tim, frustrasi, marah,
merasa terasing sehingga komunitasnya terasa mengisolasi dirinya.
7. Jenis Kelamin
Biasanya
perempuan menunjukkan frekuensi yang lebih besar untuk mengalami kebosanan (burnout) daripada laki-laki karena
sering mengalami kelelahan emosional.
Pola
berpikir seseorang dapat menimbulkan adanya suatu kebosanan/ kejenuhan (burnout) dalam suatu aktifitas. Ada
beberapa penyebab terjadinya kebosanan karena pola pikir seseorang yang kurang
tepat, yaitu:
1. Kurang Berpikir Positif
Ketika seseorang mengalami
kebosanan, mereka merasa bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, dan hal ini
akan terjadi berulang kali. Dalam kejadian semacam ini, orang tersebut melihat
lebih banyak hal buruk terhadap sesuatu secara sadar maupun tidak sadar. Mereka
selalu memfokuskan perhatian mereka pada masalah dan mengabaikan keberhasilan
serta kesuksesan yang mereka raih. Bagi seseorang yang berpikiran negatif dan
memiliki kecenderungan kebosanan, segala hal yang terjadi merupakan cermin dari
permasalahan dan kemunduran.
2. Kurangnya
Rasa Percaya Diri
Orang-orang yang kebosanan tidak memiliki
rasa percaya diri dan mereka selalu menganggap semua yang terjadi sebagai
kegagalan mereka. Bahkan kesalahan sekecil apapun mereka anggap sebagai masalah besar
dan mereka hal-hal tersebut menguras perhatian mereka jauh lebih besar dari
orang pada umumnya.
3. Lebih
memperhatikan kesalahan
Dalam kehidupan, pasti melakukan kesalahan; beberapa orang
membuat lebih banyak kesalahan. Orang yang menderita kebosanan lebih
memfokuskan diri pada jumlah kesalahan yang mereka buat. Sebagai hasilnya,
mereka menciptakan kesan negatif mengenai kesalahan.
4. Merasa
tertekan karena berbagai kewajiban dalam hidup
Dalam situasi ini, orang-orang
selalu berpikir apa yang seharusnya mereka lakukan dan tidak seharusnya mereka
lakukan. Hasilnya, di penghujung hari mereka terbebani oleh sejumlah komitmen.
5. Merasa
lemah
Permasalahan bagi orang yang
mengalami kebosanan adalah merasa tidak ada satu hal pun yang bisa memuaskan.
Bahkan ketika menyadari bisa memperbaiki mood, tidak melakukannya. Nasihat yang
di peroleh dari teman-teman dan keluarga dianggap tidak perlu dan tak berguna. Satu
hal yang paling di rasakan adalah ketidakmampuan untuk berharap atau
terinspirasi oleh sesuatu hal dan memperhatikannya.
C.
Gejala-gejala kebosanan
Gejala-gejala
kebosanan/burnout menurut Cardinnel.
C. dikutip dari buku Gunarsa (2008: 122-
123) meliputi simtom fisik dan simtom perilaku sebagai berikut:
- Simtom atau
gejala fisik, yaitu
a. Kelelahan
luar biasa.
b. Sakit
kepala dan gangguan pencernaan.
c. Berat
badan turun.
d. Susah
tidur.
e. Depresi
dan sesak napas.
- Simtom atau
gejala perilaku, yaitu
a. Suasana
hati atau emosi yang berubah-ubah.
b. Meningkatnya
reaksi mudah tersinggung.
c. Berkurangnya
perhatian terhadap orang lain.
d. Menurunnya
toleransi terhadap frustasi.
e. Rasa
curiga terhadap orang lain.
f. Rasa
tidak berdaya dan kehilangan pengendalian diri.
Dari
penjelasan di atas terlihat munculnya reaksi-reaksi terhadap kebosanan (burnout) terbagi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah gangguan kefaalan yang
ditandai oleh berat badan turun, kekuatan turun, cepat lelah, denyut nadi
meningkat, otot-otot melemas, gangguan pencernaan dan gangguan tidur. Sementara
kelompok kedua adalah gangguan psikologis seperti minat latihan yang menurun,
motivasi yang secara umum juga menurun, perubahan sikap, serta merasa bosan dan
gelisah. Pendapat lain mengungkapkan bahwa reaksi terhadap kejenuhan dan
kebosanan memiliki tingkatan. Misalnya, tingkat pertama ditandai oleh
meningginya ambang kepekaan, lelah, khawatir, dan frustasi. Tingkat kedua dari
kebosanan adalah memperlihatkan reaksi yang sama dengan dua kelompok diatas,
namun dalam waktu yang lebih lama. Tingkat tiga telah lebih mendalam dengan
munculnya gejala-gejala fisik (somatisasi)
seperti gangguan lambung, nyeri di pinggang dan sakit kepala.
D.
Strategi mengatasi kebosanan
Dalam
mengantisipasi kebosanan (burnout),
karena seorang pelatih perlu melakukan observasi dengan sebaik-baiknya dan
senantiasa menyempatkan diri untuk
berkomunikasi dengan atlet. Terutama pada tahapan ketika atlet mulai
melontarkan perasaan ketidakpuasan atas hasil prestasi yang diperoleh, atau
ketidakpuasan karena merasa dirinya tidak mampu menyelsaikan tugas dengan baik,
pelatih perlu mendengarkan keluhan atlet dengan seksama. Melalui
informasi-informasi langsung seperti inilah seorang pelatih akan lebih mampu
mewaspadai gejala kejenuhan (burnout)
yang dialami atlet. Sehingga, dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mengatasi masalah tersebut (Monthy P. Satiadarma, 2000: 268- 269).
Adapun strategi untuk
mengatasi kondisi kebosanan (burnout)
yang dialami atlet seperti yang dikemukakan Gunarsa (2004: 125) diperlukan
upaya-upaya tertentu, antara lain sebagai berikut:
1. Mengurangi
latihan yang monoton.
Variasi untuk memberikan
suasan latihan yang baru dapat dilakukan dengan memasukkan kegiatan atau
program baru.
2. Menghentikan
latihan untuk sementara.
Program latihan yang terlalu membebani seorang atlet sering kali perlu
dihentikan untuk sementara waktu, sebab dalam kondisi psikis seperti itu hasil latihan
menjadi kurang berarti.
3. Mengubah lingkungan
Ini dapat dilakukan dengan berlatih di tempat
yang sama dengan suasana yang baru, atau berlatih di tempat lain, sehingga
tercipta suasana yang sama sekali baru.
4. Mengubah pola latihan yang telah
dilakukan setiap hari secara terus menerus menjadi suatu ramuan yang baru.
5. Melakukan variasi dalam kehidupan
sehari-hari
Kegiatan yang bervariasi tersebut dapat
bersifat rekreatif, produktif bahkan edukatif. Kegiatan juga dapat dilakukan secara
pribadi maupun kelompok.
6. Mengembangkan keterampilan psikologis
seperti relaksasi, imajeri, penentuan sasaran dan self talk atau sugesti secara positif.
Menurut Weinberg dan Gould dikutip dari buku Monty P. Satiadarma (2000: 269-272) mengajukan sejumlah strategi yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan untuk
mengantisipasi, menghindari maupun mengatasi masalah tersebut.
a) Menentukan
sasaran jangka pendek
Lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai
sasaran jangka panjang kadang-kadang menimbulkan kebosanan (burnout)
pada atlet untuk terus mengikuti latihan. Oleh sebab itu, perlu menyusun
program yang terarah pada sasaran jangka pendek, sehingga atlet dapat
rnengarahkan kegiatan ke dalam periode kegiatan yang tidak begitu lama jangka
waktu dan selanjutnya dihadapkan pada sasaran baru lainnya. Diharapkan, atlet
senantiasa menghadapi situasi yang baru dan hal ini menjauhkannya dan
kemungkinan merasa jenuh dalam berlatih.
b) Membina komunikasi
Banyak orang membutuhkan kehadiran orang lain
untuk berbagi rasa, berbagi suka dan duka. Manusia pada hakekatnya adalah
makhluk sosial, sehingga berusaha menyimpan gejolak emosi seorang diri membuka
peluang untuk mengalami stres yang lebih tinggi. Ketidak-beradaan orang lain
dapat menimbulkan kesendirian dan rasa kesepian. Sebaliknya kehadiran teman atau
pelatih memberi peluang pada atlet untuk dapat berbagi rasa dengan orang
lain sehingga terhindar dan rasa sepi serta kesendirian. Hal ini membuatnya
lebih mudah menghindari diri dan rasa jenuh menghadapi kegiatan rutin sehari-hari.
c) Melakukan jeda
Semakin banyak kerja
semakin tinggi suksesnya dan semakin keras bekerja makin baik hasilnya. Namun,
pada kenyataan tidak seperti itu, banyak orang sukses meraih sukses bukan
dilandasi kerasnya seseorang bekerja, melainkan karena efektifnya seseorang
menggunakan tenaga dan efektifnya memanfaatkan waktu. Kata kunci dalam hal ini adalah efektivitas kerja/latihan. Kerja atau latihan efektif bukanlah kegiatan
yang berlangsung terus menerus tanpa henti. Jeda adalah penting untuk
mengistirahatkan sementara individu yang bekerja sekaligus memulihkan tenaganya
untuk kembali bekerja. Tanpa adanya jeda yang mungkin timbul adalah kelelahan.
d) Meningkatkan
keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri
Atlet hendaknya juga
dibekali dengan keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri seperti
relaksasi, visualisasi, menentukan sasaran, memberi sugesti positif bagi diri
sendiri dan lain-lain. Tanpa bekal keterampilan psikologis, seorang atlet
mungkin akan terjerat jadwal yang tidak dipahami maknanya, dan akibatnya atlet
mudah mengalami kebosanan
(burnout) mungkin tanpa sasaran yang jelas, atlet akan terjerat
idealisme tertentu yang rnenyebabkannya berlatih secara berlebihan dan
mengalami sindroma kelebihan beban latihan. Tetapi, jika atlet mampu
menerjemahkan idealisme ke dalam sasaran yang realistis, atlet akan lebih mampu
mengatur waktu latihan sehingga juga lebih mungkin untuk terhindar dari kebosanan (burntou)t.
e) Mempertahankan
sikap positif
Pengalaman latihan serta
pertandingan, komentar dan masukan dari berbagai pihak, serta umpan balik dan
pengurus serta pimpinan adakalanya bernada negatif, apalagi jika regu atau
atlet mengalami kekalahan. Pelatih hendaknya menghindari sikap menyalahkan atlet
atau saling menyalahkan satu sama lain, sekalipun bisa dimengerti bahwa pelatih
pun mungkin sedang kesal karena kekalahan clubnya atau atletnya. Namun justru pada saat inilah sikap
positif pelatih sangat diharapkan sehingga atlet juga dapat belajar bersikap
positif dan dapat menerima kekalahan. Di samping itu, sikap positif cenderung
menumbuhkan minat untuk memperbaiki diri, dan hal ini memberi peluang yang
lebih besar bagi atlet untuk memperbaiki diri di kemudian hari.
f) Mengendalikan
emosi pasca tanding
Sekalipun peluit terakhir
telah berbunyi, tidak berarti gejolak psikologis yang dialami atlet berakhir.
Dalam berbagai keadaan, usai pertandingan bahkan dapat menjadi saat awal atlet
mengalami gejolak emosi negatif yang dalam beberapa hal berikutnya menjadi pemicu munculnya kejenuhan.
Kondisi pasca tanding dapat menimbulkan gejolak emosi yang berlebihan (seperti
misalnya euphoria) atau mengarah ke hal-hal yang destruktif seperti
minum minuman keras, saling menyalahkan satu sama lain atas peristiwa yang
terjadi di gelanggang dan sebagainya. Pelatih perlu mewaspadai hal ini dan
hendaknya pelatih harus mampu “hadir” di antara atlet untuk membina suasana
yang lebih kondusif, suportif sehingga dapat mengendalikan emosi atlet menjadi
lebih terkontrol.
g) Mempertahankan
kebugaran.
Upaya ini penting karena
kebugaran merupakan salah satu kunci kesejahteraan di dalam hidup seseorang.
Periode latihan dan pertandingan yang berlangsung dalam waktu tertentu
menimbulkan kelelahan dan mempengaruhi ketahanan fisik dan mental seseorang. Jika atlet mengalami kelelahan yang berlebihan,
atlet cenderung lebih mudah terkena stres. Jadi, seorang atlet perlu untuk
senantiasa mempertahankan kebugaran dengan memperhatikan menu makan, jadwal
kegiatan dan istirahat, agar atlet senantiasa berada dalam kondisi bugar.
E.
Pengertian Perilaku Kepatuhan
Kepatuhan merupakan ketaatan
seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang telah ditentukan serta
dorongan dari dalam diri seseorang untuk mematuhi atau menuruti apa yang sudah
di perintahkan. Menurut Hasibuan dalam Ardi (2012), menjelaskan bahwa kepatuhan
merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan dan
norma-norma sosial yang berlaku. Sedangkan menurut Prijadarminto dalam Ardi (2012), menjelaskan
kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari
serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan,
kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Sikap atau perbuatan yang dilakukan
bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya
akan mebebani dirinya bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana lazimnya.
Berdasarkan
beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku kepatuhan adalah ketaatan seseorang
dalam melaksanakan suatu kegiatan yang telah ditentukan serta kesediaan mentati
semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku.
F.
Faktor-Faktor yang Mempengarahui Kepatuhan Latihan
Beberapa
faktor yang mempengaruhi kepatuhan
latihan menurut Weinberg dan Gould (2003:410-414), yaitu sebagai berikut:
1.
Faktor Pribadi (Personal Factors)
Tiga
tipe karakteristik pribadi yang mungkin mempengaruhi kepatuhan olahraga, yaitu variabel-variabel demografis,
variabel-variabel kognitif, dan perilaku.
a. Variabel-Variabel Demografis (Demographic Variables)
Variabel-variabel demografis secara
tradisional telah memiliki kaitan yang kuat dengan aktivitas fisik. Contohnya,
pendidikan, jenis kelamin laki-laki, dan pendapatan atau status sosioekonomi,
semuanya telah dihubungkan secara konsisten dan positif dengan aktivitas fisik.
Secara rinci, orang-orang dengan pendapatan, pendidikan, dan status pekerjaan
yang lebih tinggi berkemungkinan lebih besar untuk menjalankan aktivitas fisik.Hasil-hasil
penelitian telah menunjukkan bahwa rintangan untuk berolahraga antara para
pekerja profesional dan non-profesional adalah sama, meskipun jumlahnya berbeda
pada faktor-faktor penentu yang lain dalam olahraga King dkk dalam Weinberg dan
Gould (2003:410).
b.
Variabel-variabel Kognitif dan Kepribadian
Banyak variabel kognitif telah diuji
bertahun-tahun untuk menentukan variabel-variabel tersebut membantu
memperkirakan dan berhubungan dengan pola aktivitas fisik. Dari semua variabel
yang diuji, efikasi diri dan motivasi diri merupakan pemerkira aktivitas fisik
yang paling cocok/ konsisten. Efikasi diri secara sederhana merupakan
kepercayaan individu bahwa ia dapat melakukan tindakan yang diinginkannya
dengan baik. Memulai program olahraga misalnya, kemungkinan besar dipengaruhi
oleh kepercayaan diri yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya untuk
melaksanakan tindakan yang diinginkannya. Oleh karena itu, sangatlah penting
untuk membantu orang untuk menjadi percaya diri dengan tubuhnya melalui
dukungan sosial, dorongan, dan penyesuaian aktivitas agar sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya.
c.
Perilaku
Diantara kajian-kajian mengenai banyaknya
perilaku yang mungkin dapat memprediksi atau memperkirakan pola keaktifan fisik
pada orang dewasa, penelitian terhadap keaktifan fisik seseorang dan
keikutsertaannya dalam olahraga sebelumnya telah menghasilkan beberapa penemuan
yang menarik. Dalam program-program terawasi aktivitas dapat diamati secara
langsung, keikutsertaan sebelumnya dalam suatu program olahraga merupakan
prediktor yang paling terpercaya dalam memperkirakan keikutsertaannya pada
program yang sekarang sedang dijalani Dishman & Sallis dikutip dari buku
Weinberg dan Gould (2003:412).
Ada sedikit bukti bahwa sekedar keikutsertaan
seseorang dalam olahraga-olahraga sekolah akan dapat memprediksi atau memperkirakan
keaktifan fisiknya saat dewasa. Begitu juga, ada sedikit dukungan terhadap
pemikiran bahwa pola keaktifan semasa kanak-kanak atau awal masa dewasa
merupakan hal yang prediktif dari keaktifan fisik selanjutnya. Buktinya, elemen
kuncinya adalah bahwa seseorang baru mengembangkan kebiasaan untuk aktif secara
fisik selama usia dewasa, tanpa memperhatikan pola tertentu dalam keaktifan
fisik mereka. Namun, anak-anak yang aktif yang memperoleh dorongan dari orang
tuanya dalam hal keaktifan fisik, akan menjadi lebih aktif saat mereka dewasa
daripada anak-anak yang kurang aktif secara fisik dan tidak memperoleh dorongan
dari orangtuanya.
2.
Faktor Lingkungan (Environmental Factors)
Faktor lingkungan dapat mendukung ataupun
menghambat keteraturan keikutsertaan dalam aktivitas fisik. Faktor ini meliputi
lingkungan sosial (misalnya keluarga dan teman sebaya), lingkungan fisik
(misalnya cuaca, tekanan waktu, dan jarak dari fasilitas yang ada), dan
karakteristik keaktifan fisik atau aktivitas fisik (misalnya intensitas dan
durasi olahraga).
a. Lingkungan Sosial
Dukungan
sosial adalah salah satu aspek penting dalam lingkungan sosial, dukungan dari
keluarga dan teman secara terus-menerus terbukti berhubungan dengan aktifitas
fisik yang diikuti dengan keteraturan untuk melakukan program pelatihan orang
dewasa (USDHHS, 1996). Pasangan memiliki
pengaruh yang baik dalam keberaturan latihan dan sikap pasangan dapat menekan
lebih dari pengaruh sikap seseorang sendiri Dishman dalam Weinberg dan Gould
(2003:412). Dorongan untuk teman, anggota keluarga, atau teman sebaya yang
mencoba untuk menyerah atau tetap melakukan program latihan dapat diungkapkan
dengan mudah dengan “saatnya kembali” atau “aku bangga denganmu”.
b. Lingkungan Fisik
Tempat
yang tepat sangat penting untuk suatu komunitas melakukan program latihan. Baik
waktu yang tepat dan dekatnya rumah atau tempat kerja adalah faktor yang menentukan
seseorang mengikuti program latihan gerak badan King, dkk dikutip dari buku Weinberg
dan Gould (2003:413). Semakin dekat rumah seseorang atau tempat kerja dengan
tempat latihan gerak badan, semakin seseorang akan mengikuti program latihan
gerak badan. Saat ini, berbagai macam tempat untuk latihan tersedia dan
dijadikan lokasi strategis untuk latihan sebagai tambahan untuk pengaturan
rumah tradisional dan tempat bekerja. Hal ini termasuk tempat-tempat seperti
sekolah dasar dan sekolah menengah, gedung alumni, tempat ibadah dan tempat
rekreasi. Tempat-tempat inilah yang berpotensi menawarkan tempat program
latihan fisik Smith & Biddle dikutip
dari buku Weinberg dan Gould (2003:413).
G.
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan
Menurut
Weinberg dan Gould (2003:415) menjelakan beberapa bentuk strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kepatuhan dalam latihan, yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan Modifikasi Sikap
Tinjauan
lengkap dari Dishmen and Buckworth dalam Weinberg dan Gould (2003: 416)
menjelaskan bahwa pendekatan modifikasi sikap meningkatkan keteraturan dalam
latihan fisik yang menghasilkan hasil yang sangat positif. Pendekatan
modifikasi sikap memungkinkan memiliki pengaruh pada lingkungan fisik yang
bertindak sebagai isyarat kebiasaan dari sikap. Penglihatan dan pembau pada
makanan adalah kunci untuk makan, penglihatan dari televisi setelah bekerja
adalah kunci orang akan duduk bersantai. Begitupun jika ingin mempromosikan
program latihan, suatu teknik untuk memberikan rangsangan akan memungkinkan
berhubungan dengan latihan fisik. Ada beberapa kombinasi yang bisa dilakukan
untuk mencapai tujuan di atas:
a. Dorongan
Dorongan adalah kunci mengaktifkan sikap.
Dorongan dapat berupa verbal atau dengan kata-kata, fisik dan simbol. Tujuan
adalah salah satu kunci untuk meningkatkan kemauan seseorang untuk berlatih
fisik. Contoh kunci atau isyarat untuk meningkatkan kerajinan dalam berlatih
adalah slogan, poster, stiker, catatan, meletakkan alat latihan fisik di tempat
yang terlihat, merekrut dukungan sosial dan penampilan latihan fisik pada waktu
dan tempat yang sama setiap harinya.
b. Kontrak
Jalan
lain untuk mengubah kebiasaan dalam latihan adalah dengan berpartisipasi pada
suatu kontrak dengan seorang pelatih. Kontrak terebut akan membuat suatu
harapan khusus, rasa tanggung jawab dan keberlanjutan program. Kontrak ini
berisi tujuan yang akan dicapai , tanggal tujuan-tujuan harus dicapai, dan
konsekuensi jika tidak mengikuti perjanjian Willis & Campbell dikutip dari
buku Weinberg dan Gould (2003:416).
2.
Pendekatan dengan Penguatan
Penguatan,
baik negatif maupun positif, adalah faktor yang menentukan sikap ke depannya.
Untuk meningkatkan kerutinan dalam latihan fisik, insentif atau penghargaan
(misalnya dengan kaos) dapat diberikan agar orang-orang tetap mengikuti program
latihan fisik. Lebih jelasnya seperti di bawah ini:
a. Memetakan atau membuat grafik kedatangan dan
partisipasi
Laporan
umum dari kedatangan dan penampilan adalah jalan lain untuk meningkatkan
motivasi dari anggota yang mengikuti program latihan fisik. Umpan balik dari
penampilan mereka dapat dibuat lebih efektif dengan bagan atau grafik e.g. Franklin
dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:416). Bagan atau grafik akan sangat
membantu dan memotivasi, dimana orang akan bisa sekilas melihat perubahan atau
perkembangan latihan fisik. Hal ini akan mengimbangi ketertarikan, terutama
program selanjutnya yang harus orang-orang capai. Merekam jejak dan memetakan
dalam grafik secara teratur diberikan dan akan sering meningkatkan rasa
penghargaan secara kognitif adalah suatu cara untuk meningkatkan target yang
dibiasakan.
b.
Penghargaan Kedatangan dan Partisipasi
Di
samping membuat chart atau grafik kedatangan dan partisipasi, beberapa
penelitian menggunakan penghargaan untuk meningkatkan kerutinan latihan fisik.
Pada sebuah studi, penghargaan diberikan pada kedatangan selama lima minggu
dalam program jogging: penghargaan pertama adalah 1$ pengembalian uang masukan
mingguan, kesatuan dalam partisipasi dan sebuah kupon untuk sekali kedatangan
dan akan mendapatkan suatu hadiah, dan ini semua diberikan pada setiap kelas
yang didatangi.
c.
Umpan Balik
Umpan
balik sering digunakan pelatih untuk mendorong atlet terus berlatih. Kata-kata
pujian tidak memberi informasi yang spesifik untuk meningkatkan
keterampilannya, tetapi dapat memelihara dan meningkatkan
lingkungan latihan yang positif. Umpan
balik memberikan keuntungan dalam proses pelatihan, atlet lebih bersemangat dan
bergairah untuk berlatih apabila mengetahui dan mendapat perhatian dan hasil
latihan yang baik. Menurut Agung dikutip dari buku Komarudin (2015:31)
menjelaskan bahwa melalui prinsip balikan diupayakan dan dipastikan atlet akan
sungguh-sungguh menerima materi yang disampaikan dan memperoleh hasil yang
baik. Perolehan hasil itu akan mendorong atlet untuk lebih giat berlatih dan
berprestasi lebih baik lagi.
Umpan
balik yang positif diberikan dalam bentuk menggunakan kata-kata bagus,
menyenangkan, pintar, menarik, dan hebat, akan memberikan dampak positif terhadap
penampilan atlet. Hal ini merupakan faktor penting untuk membentuk motivasi
intrinsik. Hasil penelitian menunjukan bahwa memberikan umpan balik secara
verbal merupakan usaha yang kompleks. Umpan balik verbal yang disampaikan
merupakan moderator penting terhadap efek motivasi intrinsik (Henderlong &
Lepper dikutip dari buku Komarudin 2015:33).
3.
Pendekatan Kognitif
Pendekatan
kognitif adalah pendekatan dari dalam yang memiliki peran penting dalam
perubahan sikap. Dua teknik yang termasuk dalam pendekatan ini adalah
pengaturan tujuan dan suatu teknik yang harus dilakukan dengan persatuan dan
non persatuan.
a. Tetapkan Tujuan
Gaol setting
merupakan prosedur untuk menetepkan tujuan, baik tujuan jangka pendek,
menengah, sampai pada tujuan jangka panjang. Goal setting bertujuan untuk memotivasi atlet supaya lebih
produktif dan efektif dalam menampilkan performa.
Pengaturan
tujuan dapat menjadi teknik motivasi dan strategi yang meningkankan sikap dan
keteraturan dalam program latihan fisik. Pada sebuah studi, 99 % dari
partisipan yang mengikuti level tengah dalam fitness diatur dua kali, motivasi
personal tujuan mereka dalam partisipasi latihan Poag-DuCharme & Brawley dikutip
dari buku Weinberg dan Gould (2003:418).
Martin,
dkk dikutip dari buku Weinberg dan Gould (2003:418) menemukan tujuan yang mudah
disesuaikan yang diambil partisipan diatur mereka sendiri akan menghasilkan
kehadiran dalam program lebih baik dan mengimbangi sikap dalam latihan (untuk
masa 3 bulan) daripada yang diatur oleh pelatih atau intsrukturnya.
b. Asosiasi dan Disosiasi
Pemikiran yang orang fokuskan pada perhatian
selama latihan fisik juga sangat penting untuk meningkatkan keberaturan dalam
program latihan. Ketika fokus dari dalam diri seseorang ini dinamakan asosiasi,
ketika orang fokus dengan lingkungan di luar dirinya disebut disosiasi atau
gangguan. Menfokuskan diri pada
lingkungan sekitar termasuk seseorang merasakan sesuatu akan meningkat level
kerutinan dalam latihan fisik karena mereka berpikir tentang hal lain yang akan
menurunkan kebosanan dan kepenatan.
4.
Pendekatan Membuat Keputusan
Melibatkan
atlet dalam proses pengambilan keputusan merupakan upaya untuk meningkatkan
tanggung jawab atlet untuk memutuskan sesuatu terkait dengan
peraturan dan strategi yang harus diterapkan.
Mengikuti
program latihan atau tidak seringkali menjadi keputusan yan sulit. Untuk
membantu seseorang dalam proses membuat keputusan, pengembang ilmu kejiwaan
membuat teknik yang dinamakan lembar kecocokan pilihan (Holy & Janis, 1975;
Wankel, 1984). Teknik ini dapat membuat orang semakin menyadari keuntungan
potensial dan berharganya program latihan fisik. Dalam menemukan lembar
kecocokan pilihan, seseorang akan menuliskan antisipasi dan konsekuensi
partisipasi dalam mengikuti program latihan dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri, atau kehilangan sesuatu, keuntungan untuk orang lain, kerugian untuk
orang lain, persetujuan orang lain, ketidaksetujuan orang lain, persetujuan
diri sendiri dan ketidaksetujuan diri sendiri.
5.
Pendekatan Dukungan Sosial
Pada konteks ini, dukungan sosial diartikan
sebagai tindakan menyenangkan seseorang terhadap keikutsertaan orang lain dalam
program latihan yang dilakukan. Hubungan sosial dan keluarga mempengaruhi
aktifitas fisik di banyak hal. Pasangan, anggota keluarga, teman dapat menjadi
kunci aktifitas fisik dari sikap mereka dan penguatan dari persahabatan selama
latihan fisik. Sering kali orang memberikan bantuan praktis, transportasi, dan
menghitung rute latihan fisik atau meminjamkan baju atau alat bantu latihan
fisik. Dalam hal ini, dukungan sosial dari keluarga dan teman dibuktikan secara
positif berhubungan dengan aktifitas fisik dan kerutinan dalam mengikuti
latihan fisik (USDHHS, 1996).
6.
Pendekatan Instrinsik
Motivasi
yang paling kuat adalah dari dalam diri sendiri. Walaupun penghargaan, masukan,
dorongan sosial dan lainnya membantu meningkatkan kerutinan dalam latihan, Untuk
menfokuskan pada latihan fisik yang menyenangkan dan akan bertahan lama ada tiga
cara sebagai berikut ini.
a. Fokus pada pengalaman pribadi
Maddux
dalam Weinberg dan Gould (2003:420) berpendapat bahwa orang seharusnya
melakukan latihan fisik dengan perhatian dan fokus pada saat ini, pada intinya,
mereka seharusnya menyadari melakukan latihan fisik untuk keuntungan mereka
sendiri di masa depan. Contohnya, Maddux menyarankan selain lari, kita
seharusnya meminta orang mengikuti:
“Ketika
lari, jangan memikirkan apapun secara bersamaan. Lari saja. Hanya ambil satu
langkah dalam satu waktu. Hanya berada di saat ini saja. Jika kamu memiliki
pengalaman pahit bahkan sakit, ingatkan itu. Jika kamu memiliki pemikiran
tentang berhenti, ingatkan itu juga. Fokuslah pada hal yang sekarang dan
aktifitas itu sendiri yang akan mengaktifkan kesenangan dalam waktu yang lama.”
b. Proses Orientasi
Satu
langkah yang membuat aktifitas fisik menyenangkan adalah berfokus pada
prosesnya disamping juga hasil dari pergerakan aktifitas. Pada dasarnya, kita
harus bergerak dari orientasi ekstrinsik menuju orientasi intrinsik. Tanpa
perubahan ini, banyak orang keluar dan berhenti dari program latihan atau
melewati salah satu program untuk program selanjutnya Kimiecik dikutip dari
buku Weinberg dan Gould (2003:420).
c. Membawa latihan Fisik dengan Maksud Tertentu dan
Berarti
Pada pendekatan yang menarik, Morgan dikutip
dari buku Weinberg dan Gould (2003:421) berpendapat bahwa salah satu kunci
alasan kerutinan latihan belum maksimal 50 % dalam 30 tahun ini adalah
aktivitas fisik seringkali kehilangan arti dan tujuan di mata partisipan. Morgan berpendapat bahwa banyak aktifitas
fisik seperti memanjat tebing, treadmill,
berjalan atau berlari, angkat beban, bersepeda, dan mengayuh bergantung pada
tidak memiliki maksud tertentu dan hanya diartikan sebagai salah satu jenis
aktifitas fisik yang ditawarkan. Beberapa pengarang (contohnya Kretchmar, 2001;
Fahlberg & Fahlberg, 1990) menekankan makna adalah kunci dalam aspek
keberlanjutan latihan fisik. Walaupun beberapa alternatif menjelaskan
mengapa mereka dapat melakukan latihan
fisik terus-menerus, penulis berpendapat kekonsistenan pada faktor latihan
fisik mereka begitu berarti dan bermakna serta memiliki tujuan khusus di mata
mereka.
H.
Pengertian Sepakbola
Sucipto
dkk (2000:7) menjelaskan bahwa sepakbola adalah permainan beregu, masing-masing
regu terdiri atas sebelas pemain dan salah satunya adalah penjaga gawang.
Permainan ini seluruhnya dimainkan dengan menggunakan tungkai, kecuali penjaga
gawang yang dibolehkan menggunakan lengannya di daerah tendangan hukumannya. Menurut
Batty Eric G. (1986) sepak bola adalah sebuah permainan sederhana, dan rahasia
dari permainan sepak bola yang baik adalah melakukan hal-hal yang sederhana
dengan sebaik-baiknya, karena salah satu faktor penting dalam pencapaian prestasi sepak bola adalah
penguasaan keterampilan dasar yang dimiliki oleh pemain itu sendiri, sehingga
pandai bermain sepak bola.
I.
Pengertian Atlet
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (2005) arti dari kata atlet adalah olahragawan
yang terlatih kekuatan, ketangkasan dan kecepatannya untuk diikut sertakan
dalam pertandingan. Atlet berasal dari bahasa Yunani yaitu athlos yang
berarti "kontes". Istilah lain atlet adalah atlilete yaitu
orang yang terlatih untuk diadu kekuatannya agar mencapai prestasi. Menurut
Cox (2012), atlet adalah orang yang ikut serta dalam
pertandingan, mengadu kekuatannya untuk mencapai suatu prestasi dan orang yang
melakukan latihan-latihan agar mendapatkan kekuatan badan, kecepatan,
kelincahan, daya tahan, dan keseimbangan dalam mempersiapkan diri jauh hari
sebelum perlombaan dimulai. Atlet harus mengikuti serangkaian pertandingan
dalam kompetisi yang terstruktur serta memiliki pembinaan dan program latihan
tertentu untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, baik kemampuan fisik,
kognitif, maupun kemampuan emosionalnya untuk mencapai prestasi yang
diharapkan.
Dari
beberapa definisi tersebut makan dapat disimpulkan bahwa atlet adalah individu
yang melakukan olahraga yang terprogram,
terukur, dan tercatat untuk tujuan kesempurnaan prestasi.
BAB
III
KESIMPULAN
Kebosanan
menjadi masalah yang di hadapi oleh atlet. Hampir semua atlet pernah mengalami
kebosanan untuk mengikuti latihan. Hal ini dikarenakan atlet mengalami
kelalahan dari kelebihan latihan dan
stress dalam mengikuti program latihan. Untuk mengatasi kondisi burnout (kebosanan) yang dialami atlet
pada saat mengikuti program latihan sepakbola, ada beberapa strategi yang dapat
digunakan antara lain yaitu mengurangi latihan yang monoton, menghentikan latihan
untuk sementara, mengubah lingkungan, mengubah pola latihan, melakukan variasi
dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan keterampilan psikologis seperti
relaksasi, imajeri, penentuan sasaran dan self
talk atau sugesti secara positif, menentukan sasaran
jangka pendek, membina komunikasi, meningkatkan
keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri, mempertahankan sikap
positif, mengendalikan
emosi pasca tanding dan mempertahankan
kebugaran.
Kurangnya
kepatuhan menjadi masalah penting pada
saat mengikuti program latihan. Masalah kurangnya kepatuhan menjadi masalah
bagi atlet untuk mengikuti program latihan sepak bola dengan baik. Untuk itu,
ada beberapa strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku kepatuhan atlet, antara lain yaitu pendekatan
modifikasi sikap, pendekatan dengan penguatan, pendekatan kognitif, pendekatan
membuat keputusan, pendekatan dukungan sosial, dan pendekatan instrinsik.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardi.
(2012). Diakses 28 Maret 2016. Pengertian
Kepatuhan. http://www. Psycholog ymania.com/2012/08/pengertian-kepatuhan.html,
Batty,
Eric G. (1986). Coaching Modern Soccer Attack. Bandung : Pionir Jaya.
Cox,
R.H. (2012). Sport Pschology: Concepts and Applications. 7th edition.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Gunarsa,
Singgih D. (2008). Psikologi Olahraga
Prestasi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
KBBI. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Komarudin. (2015). Psikologi Olahraga. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya.
Monty
P.S. (2000) Dasar-dasar psikologi
olahraga. Jakarta Pustaka Sinar Harapan. 2000
Prahananda, dkk. (2013). Cara Jacksen Atasi Rasa Jenuh Pemain Timnas.Viva.co.id, 1 November 2013. http://www.viva.co.id/bola/read/455402-cara-jacksen-atasi-rasa-jenuh-pemain-timnas
Sucipto,
dkk. (2000). Sepakbola. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Weinberg, R.S., Gould, D.
(2003). Foundations of Sport &
Exercise Psychology.
(3rd Ed) USA : Human Kinetics.
, R.S., Gould, D. (2011).
Foundations of Sport & Exercise Psychology.
(5th Ed). USA : Human Kinetics.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar